Jumat, 29 November 2013

Sistem Pendidikan Perlu Diubah

Sistem Pendidikan Perlu Diubah

Sistem Pendidikan Perlu DiubahSistem pendidikan masa kini perlu diubah untuk menyiapkan generasi muda yang siap menyongsong perubahan dunia yang begitu cepat.
Pendidikan harus mampu membuat anak menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dalam kaitan dengan ujian
Pendidikan perlu menyeimbangkan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dengan tetap memegang nilai-nilai tradisional yang relevan dan modern. Persoalan tersebut mengemuka dalam dialog-dialog di acara World Innovation Summit for Education (WISE) ke-4 di Doha, Qatar, yang berakhir pekan lalu.
Dalam menghadapi perubahan pendidikan untuk mempersiapkan generasi muda dunia yang lebih baik, seruan saling belajar, berbagi, dan bekerjasama di antarorganisasi dan negara mencuat.
Mona Mourshed, Partner and Leader, Global Education Practice McKinsey and Company, mengatakan dunia pendidikan terus menghadapi tantangan soal belum sinkronnya lulusan dengan pasar tenaga kerja yang tersedia. Dunia pendidikan belum dikatakan berhasil jika hanya membuat lulusannya bisa bekerja begitu lulus.
“Yang penting apakah lulusan itu bisa membangun karirnya, bukan sekadar bekerja,” kata Mona. Dalam upaya menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja, kata Mona, di banyak tempat terkendala kurangnya kesempatan magang bagi siswa/mahasiswa.
Untuk itu, perlu dukungan pemerintah dan perusahaan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi siswa/mahasiswa untuk belajar secara langsung di dunia kerja dengan sistem magang untuk membuat mereka siap memasuki dunia kerja.
Sementara itu, Aicha Bah Diallo, Ketua Forum Perempuan Pendidik Afrika, mengatakan perlu dikaji kembali apakah sistem pendidikan saat ini membuat anak-anak benar-benar belajar serta guru benar-benar termotivasi.
“Pendidikan harus mampu membuat anak menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dalam kaitan dengan ujian,” kata Aicha, tes jangan justru jadi salah bentuk kekerasan pada siswa.
“Tes dalam pendidikan harus dikembangkan dengan tujuan untuk membuat potensi siswa berkembang, bukan malah untuk menghukum siswa tidak lulus,” kata Aicha. Conrad Wolfram, Ahli Matematika, mengatakan pendidikan perlu didekatkan dengan realitas keseharian. Dalam pembelajaran Matematika, misalnya, pendidikan tidak semata untuk mmebuat siswa mampu menghitung.
“Dengan perkembangkan teknologi, menghitung sudah bisa dilakukan dengan komputer. Tetapi dalam pendidikan Matematika, justru dipakai bagaimana mmebuat siswa mampu memecahkan masalah. Perlu perubahan dalam belajar Matematika saat ini,” kata Conrad.
Peter Thiele, pejabat di Kementerian Pendidikan dan Penelitian Jerman, mengatakan pendidikan menyeimbangkan antara kebutuhan akademik dan keterampan untuk memasuki dunia kerja. Pendidikan ke depan tidak hanya mengejar pendidikan tinggi akademik, tetapi juga vokasi. “Pendidikan menyiapkan generasi yang mampu berpikir kritis, analistis, dan kretaif. Pendidikan mesti difokuskan untuk hal-hal yang berguna,” kata Peter. Secara terpisah, Fasli Jalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional yang hadir dalam WISE, di Jakarta, Senin (19/11/2012), mengatakan Indonesia menghadapi tantangan dalam sistem pendidikan yang masih belum menyiapkan siswa yang mampu berpikir tinggi dan relevan dengan kehidupan. Hal ini utamanya karena mutu guru dan pembelajarannya yang masih belum sesuai harapan.
Fasli mengatakan dari penelitian Bank Dunia baru-baru ini soal guru Indonesia, pelaksanaan sertifikasi memang belum mampu meningkatkan mutu guru dan perubahan dalam pembelajaran yang lebih bermakna.
Masalah mendasar pendidikan Indonesia justru terjadi di ruang-ruang kelas, di mana guru sebagai yang utama belum dapat mendidik dengan baik.
“Guru-guru Indonesia umumnya lebih mengedepankan keterampilan tingkat belajar tingkat rendah, seperti menghafal. Makna pembelajaran untuk kehidupan sehari-hari belum bisa dikaitkan. Termasuk juga guru masih belum bisa membuka diir terhadap beragam alternatif jawaban,” kata Fasli.
Menurut Fasli, perlu pembenahan serius soal guru dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan guru bermutu, loncatan perubahan pendidikan Indonesia bisa cepat, terutama untuk mengembangkan pendidikan yang menyiapkan anak-anak siap memasuki kehidupan masa depan dengan perubahan teknologi yang tinggi.

http://www.beritakaget.com/berita/3581/sistem-pendidikan-perlu-diubah.html

Pendidikan Jujur yang Membebaskan

Pendidikan Jujur yang Membebaskan

Pendidikan Jujur yang MembebaskanApa yang bisa mengguncang institusi pendidikan prestisius? Ternyata bukan nilai, sarana-prasarana, atau dana, tapi ketidakjujuran.
Itulah yang terjadi di Universitas Harvard, AS, yang prestisius itu. Baru-baru ini Harvard terguncang hebat oleh skandal ”nyontek” yang melibatkan sekitar 125 mahasiswa dalam mata kuliah pemerintahan.
Sesungguhnya penulis rindu guncangan semacam itu juga terjadi dalam pendidikan kita. Guncangan karena skandal ”nyontek” justru menunjukkan penyelenggara pendidikan teguh memperjuangkan martabatnya. Kejujuran harga mati, martabat, sekaligus roh pendidikan. Sebaliknya, menutup-nutupi fakta ketidakjujuran dan beragam dinamika pendidikan manipulatif tindakan pembusukan dunia pendidikan dan penghancuran bangsa.

Alasan mencontek
Ada banyak alasan mengapa siswa/mahasiswa mencontek. Pada kasus Harvard, pencontek- an dilakukan puluhan atlet universitas itu. Diduga, seperti banyak perguruan tinggi lain, Harvard memberikan keringanan bagi para atlet mahasiswa. Dalam konteks ini, mencontek terjadi karena pencontek tak ada di tempat belajar yang tepat. Pembelajar harus mempertimbangkan kultur dan dinamika tempat belajarnya agar terhindar dari tekanan terlampau tinggi karena tuntutan institusi pendidikan di luar kemampuannya. Sekolah/universitas yang ”bagus dan baik” belum tentu berguna bagi semua pembelajar.
Tekanan yang terlampau berat juga terjadi karena tuntutan prestasi/nilai. Tuntutan itu bisa datang dari orangtua atau lembaga. Sesungguhnya tak selalu salah menuntut pembelajar mendapat prestasi tinggi asal lembaga pendidikan sungguh-sungguh menekankan dan menghargai proses. Nalarnya: kalau semua proses pendidikan berjalan dengan baik, akuntabel, dan transparan, nilai/prestasi yang baik akan terjadi dengan sendirinya.
Sayangnya, pendidikan kita telah mengabaikan proses. Akibatnya sebagian besar pembelajar di negeri ini tak memiliki kepercayaan diri. Ketika penulis bertanya kepada para murid tentang alasan mereka sulit mengendalikan dorongan spontan untuk tidak mencontek adalah nihilnya kepercayaan diri. Sejak SD mereka tak pernah mengalami nikmatnya belajar, indahnya belajar dengan menekuni proses. Lebih parah lagi, guru mereka tak banyak menghargai, apalagi mengajarkan proses belajar.
Kita bisa memahami pengakuan para murid itu ketika menyadari rendahnya kompetensi guru. Kian jarangnya digunakan soal-soal uraian dalam ujian adalah petunjuk lain. Pragmatisme pembelajaran yang berjiwa hedonis dengan menjadikan nilai ujian sebagai penentu prestasi pantas kita pertimbangkan juga. Padahal, banyak pembelajar sesungguhnya unggul dalam mengerjakan tugas harian (proses), tetapi ringkih saat ujian karena kurang percaya diri. Di sini kita mestinya sadar, para pencontek itu adalah korban dinamika pembelajaran yang pragmatis-hedonis, mengabaikan proses, tidak transparan dan akuntabel.
Kita juga mesti merenung jujur: tidakkah dinamika pendidikan yang begitu memuja pencitraan dan beragam tindakan manipulatif hanya akan melahirkan generasi pencontek? Apalagi bila dinamika semacam itu justru difasilitasi dan dimobilisasi lembaga pemerintahan-negara. Itu sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang serius, sistematis, dan kejam, tetapi terjadi dalam sunyi. Lebih parah lagi, ini efektif menghancurkan eksistensi bangsa kita karena pada saatnya negeri ini akan diurus generasi nihil kepercayaan diri.

Pembelajar jujur
Pendidikan jujur niscaya demi menjaga eksistensi bangsa ini dalam percaturan dunia. Pendidikan jujur meniscayakan dinamika pembelajaran yang menekankan dan menghargai proses, transparan, serta akuntabel. Dinamika pendidikan semacam itu membantu pembelajar mengalami apa yang oleh Paulo Freire disebut humanisasi.
Dalam humanisasi, manusia dibantu menyadari keterbatasannya dengan praksis. Pendidikan yang menekankan dan menghargai proses membantu pembelajar menyadari keterbatasannya hingga sanggup mengatasi situasi yang membatasinya itu.
Karena itu, pembelajar perlu dibantu memilih institusi belajar yang memiliki kultur dan dinamika pembelajaran yang cocok baginya. Tujuannya agar pembelajar mampu berproses. Ia mampu nyaman dengan dirinya, menentukan target prestasi yang terukur, serta melakukan dinamika proses pembelajaran yang unik untuk mencapai target itu. Pada akhirnya ia terbantu untuk memiliki banyak pengalaman sukses dan melampaui keterbatasan-keterbatasan yang disadarinya. Inilah jalan melahirkan generasi berkarakter dan jujur.
Beragam pencitraan dan kastanisasi pendidikan yang memengaruhi perekrutan pembelajar perlu dipertimbangkan. Institusi pendidikan sebaiknya merekrut mereka yang mampu belajar sesuai kultur institusinya. Sekolah/ universitas dibangun untuk pembelajaran, bukan gerombolan.

http://www.beritakaget.com/berita/3382/pendidikan-jujur-yang-membebaskan.html